ilustrasi |
Menjadi guru di Indonesia, apalagi di sekolah negeri, bukan pilihan yang tepat bagi sebagian orang yang memiliki motivasi selain kepedulian terhadap pendidikan bangsa. Ini pernah saya rasakan di Sekolah Menengah Pertama sekitar tahun 2004. Ada seorang guru sebut saja Bapak YM, menguras uang jajan muridnya dengan alasan fotokopi soal ujian. Saat itu harga fotokopian perlembarnya adalah Rp75, tetapi Bapak YM malah mengutip Rp200 per lembarnya. Rata-rata jumlah murid satu kelas adalah 40 orang, dan Bapak YM mengajar empat kelas. Mari kita hitung. Dari satu murid, Bapak YM mendapat untung bersih Rp125. Kemudian kita kalikan 40 menjadi Rp5000. Bapak Yono mengajar empat kelas sehingga mendapat untung Rp20.000. Sebenarnya lebih dari itu. Mengapa? Karena Bapak YM hanya memfotokopi 40 lembar soal ujian saja. Dengan alasan soal ujian tidak menyebar ke kelas lain, Bapak YM mengambil kembali soal yang telah kami bayar sebelum ujian dimulai.
Itu baru modus fotokopi soal ujian. Belum lagi modus beli buku LKS dan Buku Paket. Ini sangat banyak terjadi bahkan ketika saya duduk di bangku SMA sekitar tahun 2006. Sebut saja Ibu SM. Ibu SM menjual buku LKS dan buku Paket khusus mata pelajaran yang dibawakannya. Harganya memang tidak jauh beda dengan harga di pasaran. Tapi jelas, Ibu SM sudah mendapatkan persenan dari tiap buku yang berhasil dijualnya. Lagi-lagi beliau menggunakan senjata saktinya untuk menjual buku tersebut. Ya, nilai. Siapa yang membeli buku dengan beliau, maka nilainya aman. Yang tidak? Jangan harap dapat 70.
Dua kasus di atas basisnya sama, tapi bentuk operasionalnya saja yang berbeda. Sama-sama ingin mendapatkan keuntungan yang lebih di samping gaji pokok yang mereka terima. Seharusnya tidak ada pembenaran yang bisa disampaikan atas kasus-kasus seperti itu. Yang ada hanyalah alasan mengapa banyak guru yang menggunakan cara tersebut untuk memeras siswa-siswinya. Padahal di pundak mereka sudah terukir “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Dan parahnya, ini adalah hal lumrah di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.
Miris memang, ditambah lagi, oknum-oknum guru tersebut juga tidak bagus-bagus amat kualitas mengajarnya. Ilmunya juga tidak terlalu tinggi. Bisa dibilang, ilmu buku. Pekerjaannya hanya mendikte ulang apa yang ada dibuku. Tapi ketika ada murid kritis yang bertanya, sang guru hanya membolak-balikkan pembicaraan sehingga murid makin bingung dan tak tahu arah jalan pulang.
Adalagi guru yang kerjaannya hanya memberi latihan ke murid-muridnya. Masuk kelasnya satu jam setelah pelajaran dimulai. Ketika masuk, beliau hanya berkata, “Kerjakan LKS halaman 45 ya! Kalau tidak selesai lanjutkan di rumah! Ibu keluar dulu. Oh ya, siapa yang tidak punya LKS? Atau ada yang belum bayar uang buku?” Ibu guru pun keluar tapi langkahnya terhenti di kantin khusus guru. Bercerita dan bergosip ria bersama guru-guru yang lain. Seringnya ini terjadi di jam-jam terakhir waktu sekolah.
Tak heran jika para murid menjadikan sekolah hanya sebagai tempat mendapatkan ijazah. Tidak lebih. Ilmu? Tidak terlalu berharap karena ada sekian banyak bimbingan di luar sana yang siap dengan tentor-tentor muda yang berkualitas dan siap membantu para murid mengejar impiannya dengan cara lulus dari ujian saringan masuk perguruan tinggi. Ini semua karena menjamurnya praktek-praktek yang tidak bertanggung jawab seperti di atas. Kalau saja murid sudah merasa cukup mendapatkan ilmu di sekolah, mengapa tempat bimbingan semakin hari semakin banyak? Seperti teori ekonomi, semakin banyak permintaan maka barang dan jasa semakin tinggi. Mengapa semakin banyak permintaan? Karena semakin banyak kebutuhan. Yang artinya, murid tidak lagi memenuhi kebutuhan akademisnya di sekolah.
Apakah saya mengada-ada? Tidak! Ini pengalaman saya pribadi. Dulu saya merasa senang mendapatkan guru-guru yang jarang masuk dan malas mengajar. Saya bisa menghabiskan waktu di kelas dengan bercanda ria bersama teman-teman saya. Keluar masuk kelas, dan melakukan kesenangan lainnya. Bahkan murid yang belajar tekun disaat yang lain bermain-main karena guru tidak masuk dianggap aneh. Dan saya baru menyadari kebobrokan ini setelah menjalani bangku perkuliahan. Dan memang itulah yang terjadi.
Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan tentang kualitas guru di Indonesia yang masih rendah
(http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/07/08304834/Kualitas.Guru.Masih.Rendah). Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru juga masih bermasalah. Saat dilakukan tes terhadap guru semua bidang studi, rata-rata tak sampai 50 persen soal yang bisa dikerjakan. Tidak ada guru yang meraih nilai 80. Bahkan, ada guru yang meraih nilai terendah, 1.
Jika kita mau berpikir sejenak, guru adalah ujung tombak pendidikan di suatu negeri. Suatu negeri yang maju pastilah memiliki guru-guru, professor, dan para ahli yang hebat di bidangnya masing-masing. Guru tidak sekedar menjadi buku yang berjalan. Tapi menjadi sumber inspirasi dan motivasi. Saya banyak menemukan sosok guru yang hebat. Guru yang selalu senyum walau gaji tak seberapa bahkan rela memberikan pelajaran tambahan tanpa bayaran. Katanya, “Muridku yang menjadi “orang” dikemudian hari kelak adalah gajiku yang sebenarnya. Ia tak datang sekali dalam sebulan. Mungkin 10 tahun bahkan 20 tahun kemudian. Tapi sekali ia datang, semua kekuranganku selama ini terbayar sudah. Biar saja mereka lupa terhadapku, yang penting aku berhasil menjadi guru dan pahlawan baginya.”
Yang dilakukan pemerintah sekarang sudah sangat baik. Meningkatkan kesejahteraan guru, serta kualitas guru. Tinggal implementasinya yang harus benar-benar dilaksanakan dengan benar. Tujuannya satu, agar Indonesia memiliki ujung tombak yang tajam dan runcing, yang siap membentuk generasi cerdas dan berani untuk mengabdi pada negeri.
0 comments:
Silakan dikomentari ya. Klik subscribe by email untuk notifikasi balasan. Terimakasih.